Skip to main content

Asiki 27 September 2014 • Sebenarnya sejak Papua masih diduduki Belanda (hingga 1963) orang dari sisi Papua Nugini sudah biasa melintasi perbatasan negeri untuk menjual ikan ke daerah Asiki. Tetapi empat tahun lalu dibangun sebuah jalan tembus sampai ke tengah hutan di tepi rawa ini. Sejak itu, orang Papua Nugini bisa datang berjualan dengan perahu-perahu mereka tanpa perlu berjalan kaki jauh.

Pasar ini dikenal dengan nama Bus Stop. Itu karena dari sini orang bisa menumpang angkot sampai ke kota kecamatan Asiki (sekitar 30 kilometer, 100 ribu rupiah per orang). Pasar ini berupa sebuah lapangan yang dikelilingi rapatnya pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat mengaso. Semua transaksi berlangsung di lapangan terbuka yang diselimuti daun-daun kering dan sampah plastik.

Transaksi utama di sini adalah perdagangan ikan. Orang Papua Nugini menjual mujair, orang Indonesia membeli. Para pembeli Indonesia ini bukan konsumen biasa. Mereka pedagang yang akan menjual ikan-ikan itu ke pasar di kota-kota kecamatan seperti Asiki dan Tanah Merah, yang cukup jauh dari sini.

Transaksi lain adalah minyak. Orang Papua Nugini datang ke sini dengan perahu motor, tentu mereka perlu bahan bakar untuk pergi pulang. Di seberang batas sana, minyak sangat langka dan mahal, warga desa terkadang harus menunggu berbulan-bulan sampai stok minyak datang. Sedangkan di sisi Indonesia, walaupun ini adalah sisi perbatasan terluar, minyak justru melimpah dan murah. Para pembeli ikan itu merangkap sebagai pedagang minyak, mendatangkan berdrum-drum bensin untuk dijual eceran kepada orang Papua Nugini yang membawa jeriken. Mereka membeli minyak dari pom bensin di Asiki, dengan harga subsidi yang berasal dari pajak orang Indonesia dan seharusnya hanya dinikmati oleh orang Indonesia, dan mengambil keuntungan Rp 1.500 per liter dari pembeli Papua Nugini. Saya menyaksikan penyelundupan BBM di depan mata. Demikian juga para tentara Indonesia. Tetapi mereka membiarkan. Bagaimana pun juga, tanpa minyak murah ini, pasar ini akan mati.

Sangat kebetulan kedatangan saya di sini bertepatan dengan kunjungan dari pejabat distrik (kecamatan), disebut Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Distrik Jair Kabupaten Boven Digoel, yang terdiri atas kepala distrik (camat), kepala kepolisian sektor (kapolsek), dan komandan rayon militer (danramil). Para tentara dan pegawai kecamatan mengumpulkan kami di hadapan satu gubuk di lapangan. Saya seketika melihat Jawa di sini: bawahan orang-orang Asia (terutama Jawa) membungkuk-bungkuk ketika berbicara terhadap atasan dan membungkuk sangat rendah dengan tangan kanan terayun ke bawah ketika berjalan di hadapan atasan mereka, yang semuanya orang Melanesia Papua.

Kepala distrik, yang mengaku baru pertama kali datang dan melihat pasar ini, bicara tentang penetapan harga barang supaya para pedagang dari kedua negara tidak ada yang merasa dirugikan. Kapolsek bicara soal pelarangan jualan barang terlarang, terutama alkohol dan ganja yang diselundupkan dari Papua Nugini. Sedangkan danramil mengatakan warga Papua Nugini dilarang masuk lebih jauh dari pasar ini tanpa memiliki paspor atau pas perbatasan. Kalau dia menemukan warga Papua Nugini di kecamatan Asiki tanpa dokumen, dia tak segan untuk menghukum dan mengusir mereka.

Menariknya, semua pejabat tinggi yang berbicara ini adalah orang-orang Melanesia Papua sebagaimana warga Papua Nugini. Sejak diberlakukannya otonomi khusus di Papua Indonesia, ada aturan bahwa semua pimpinan harus dijabat putra daerah Papua, dan posisi wakilnya boleh diisi suku pendatang. Para pejabat tinggi kecamatan ini juga suku Mandobo dan Marind, sama seperti warga desa-desa Papua Nugini Kuem, Manda, dan Mipan yang berjualan ke sini.

Pejabat Papua Indonesia bicara kepada orang-orang Papua Nugini dalam bahasa Indonesia

Tetapi mereka dibelah oleh garis batas. Mereka kini bicara bahasa berbeda. Semua pidato ini disampaikan dalam bahasa Indonesia. Semula seorang warga Papua Indonesia diminta menerjemahkan ke dalam bahasa Mandobo, tetapi ternyata dia kesulitan karena kemampuan bahasa daerahnya sendiri juga tidak sebagus bahasa Indonesianya. Akhirnya, seorang warga Papua Nugini menerjemahkan pidato ke bahasa Inggris. Mereka juga berpikir dengan otak berbeda, membela negeri berbeda. Ketegasan dalam nada bicara danramil itu sempat membuat saya terhenyak. Dia membela kepentingan Jakarta, sementara orang-orang Papua Nugini ini di matanya hanyalah warga asing dari luar negeri, tidak lebih.

Garis batas negeri juga terlihat jelas di pasar. Semua pedagang ikan dan bensin dari sisi Indonesia adalah warga non-Papua, kebanyakan dari Jawa, Makassar, Manado. Di sini juga muncul “pasar kaget”, di mana para pedagang baju dan balon dari Jawa menggelar dagangannya di atas tanah atau di permukaan sepeda motor. Di bagian tengah lapangan adalah deretan pedagang yang semuanya perempuan Papua Indonesia yang menggelar dagangan di tanah, berupa mi instan, nasi bungkus, minyak angin, minyak goreng, baterai, sabun cuci… Para perempuan Papua Indonesia bicara satu sama lain dalam bahasa Indonesia, karena bahasa daerah mereka beda-beda.

Gaya hidup mereka pun sudah sangat Indonesia. Seorang ibu mengeluhkan anak-anaknya sudah tidak bisa makan sagu lagi, hanya mau nasi dan mi instan. Waktu dikasih sagu, anak-anaknya melemparkan sagu itu ke tanah sambil berteriak, “Ini batu atau apa?” Sambil melayani saya yang membeli mi instan, ibu Papua itu berkata, “Rambut lurus sampai rambut keriting sekarang semua sama, tidak bisa makan yang tidak enak.”

Mereka sebenarnya telah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Mereka tinggal di perkampungan terdekat dari sini, sebuah kamp transmigran bernama Kampung Naga, yang mayoritas penduduknya dari Jawa. Ibu Papua bernama Rahel ini justru bersyukur dengan adanya transmigran. “Ada trans lebih aman, daripada kita sesama Papua malah kita takut,” katanya, “Dulu zaman Suharto kita memang takut tentara. Tapi sekarang malah seperti adik kakak.” Dari para transmigran itulah Rahel yang sehari-hari bekerja mengupas kulit kayu itu belajar berdagang, dan sejak tiga tahun ini dia jualan di pasar perbatasan dan pasar kecamatan.

Para perempuan Papua kini bisa berdagang

Penjualan bensin bersubsidi kepada warga PNG

Rahel bercerita sejak diberlakukan otonomi khusus, kehidupan mereka ada perubahan. Toilet di dalam rumah, listrik masuk, sekolah dan gereja dibangun, bus sekolah gratis, dan—ini sangat membuat warga Papua Nugini iri—warga Papua Indonesia mendapat jatah beras dua karung per orang setiap bulan. Mereka juga menonton televisi dan tahu semua tentang Jakarta, ibukota yang mereka ingin pergi karena penuh “dinding-dinding tinggi”. Rahel juga dengan lancar bercerita tentang permainan politik di Jakarta dalam upaya menjegal Jokowi sebagai presiden. Saya sama sekali tidak menyangka bisa mendengar ini dari seorang Papua pedagang jalanan, di ujung terjauh batas Papua.

Warga di Papua Indonesia bagian selatan ini, suku Mandobo dan Marind, kebanyakan mendukung otonomi khusus. Insiden dari gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) jarang terjadi di sini. Aloisius Gembenop, seorang tokoh adat Wonam yang mengupayakan pembangunan jalan ke pasar ini mengatakan, dia justru senang dengan para pendatang Indonesia karena orang Papua bisa belajar banyak pengetahuan, termasuk bertani dan berdagang. Bangga dia mengatakan, orang Papua sekarang juga sudah berpendidikan tinggi dan pembangunan merata. “Kalau belum bisa apa-apa, buat apa M?” katanya. ‘M’ adalah singkatan ‘merdeka’—sebuah kata tabu yang tidak berani mereka ucapkan sembarangan di sini.

Saya melihat tidak ada hambatan dalam interaksi antara warga Papua dengan para pendatang Indonesia di sini. Mereka berkomunikasi, berbisnis, berbagi gosip. Sebaliknya, warga Papua Indonesia nyaris tidak berinteraksi dengan sesama orang Melanesia dari Papua Nugini.

Para ibu-ibu pedagang dari Papua Indonesia ini mengatakan kendala bahasa adalah penyebab utama. Kontak mereka hanya terbatas jual beli. Pasar ini digelar seminggu dua kali, tapi mereka tidak punya teman dari seberang batas sana, dan tidak ingin ke sana.

Anita, pedagang Papua Indonesia, pernah berkunjung ke Kuem di sisi Papua Nugini, karena kebetulan ada famili. Hanya lima hari di sana dan dia tidak betah, setiap hari ingin pulang. “Kita tidak bisa tinggal di situ. Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada televisi. Mana saya bawa anak bayi,” katanya, “Tapi satu hal yang bagus. Uang kita di Indonesia itu uang mati, kalau dibawa ke seberang jadi uang hidup.”

Warga Papua Indonesia memang kelihatan secara nyata memiliki standar hidup yang lebih baik daripada saudara-saudara mereka di seberang sana. Mayoritas mereka punya alas kaki, dan kulit mereka lebih bersih, tidak kena penyakit. Baju mereka juga jauh lebih rapi. Anita, sama seperti orang Papua Nugini, juga mengunyah pinang tapi giginya putih. “Karena habis makan pinang langsung sikat gigi,” katanya bangga, sambil tersenyum menampilkan barisan giginya.

Tapi selain perbedaan bahasa dan standar hidup, saya menemukan ketidakpercayaan cukup kuat antara sesama orang Papua dari kedua sisi perbatasan. “Saya tak percaya dia orang, pinjam-pinjam uang tak pernah bayar,” kata Anita. Sedangkan orang-orang dari sisi Papua Nugini pun, ketika saya bertanya kenapa tidak berbisnis dengan orang Papua Indonesia, rata-rata berkata, “Kami sama hitam seperti mereka, kami tahu mereka luar dalam. Mereka juga orang-orang yang iri dan bodoh, suka mabuk, miskin, juga suka pakai sihir hitam.”

Dunia, di mata orang-orang Papua Nugini di daerah perbatasan ini, adalah hitam dan putih yang segamblang beda antara kulit hitam dan kulit putih. Mereka sangat memuja supremasi kulit putih, menghormati kulit putih. Di pasar ini, mereka hanya mau berdagang dengan “orang-orang putih”, seperti dari Jawa, Makassar, Manado, atau Tionghoa. Mereka beralasan, dari orang putih itu mereka bisa belajar banyak ilmu, sedangkan dari orang hitam mereka tidak belajar apa-apa.

Orang-orang Papua Nugini ini menempuh perjalanan jauh dari desa asal sampai ke sini, karena mereka tidak punya sumber penghasilan apa-apa. Tempat terdekat untuk menjual ikan di seberang batas sana adalah Kiunga, kota besar di hulu sungai Fly, di mana seekor ikan mereka bisa dihargai 10 kina (Rp 50.000). Tetapi itu jauh sekali, minimal 12 jam naik perahu dan menghabiskan banyak bensin. Pasar Indonesia ini memang lebih dekat, tetapi mereka mesti memberikan “upeti” kepada tentara, dan berada dalam posisi perdagangan yang tidak imbang.

Orang-orang Papua Nugini ini sangat butuh uang. Saking butuhnya, mereka berlomba-lomba untuk tiba di pasar ini. Belasan perahu dari tiga desa Papua Nugini tertambat di rawa, masing-masing membawa ratusan ekor ikan. Sementara hari ini, hanya satu pedagang besar dengan truk yang datang dari Indonesia, yaitu Mama Intan yang cuma bisa beli maksimum seribu ekor ikan. Karena lebih banyak yang jual daripada yang beli, pembeli bisa semaunya menentukan harga. Ikan mujair dari Papua Nugini yang besarnya sampai satu lengan manusia dewasa, dibeli dengan harga Rp 5.000 per ekor, paling mahal Rp 10.000.

Penetapan harga dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Ketika pemerintah distrik Zair datang ke sini untuk menentukan harga, mereka sebenarnya bertindak demi kepentingan para pedagang Papua Nugini ini. Para pedagang ikan dari Papua Nugini ini bersaing satu sama lain, membanting harga semurah-murahnya agar ikan mereka laku, dan akhirnya mereka sendiri yang rugi. Sementara para pedagang dari Indonesia lebih terorganisasi. Mereka sama-sama menetapkan harga jual semua dagangan. Berapa harga minyak, berapa harga mi instan atau nasi bungkus, semua sudah ditetapkan dan tidak seorang pun berani terang-terangan menjual dengan harga lebih murah, atau mereka akan dimusuhi pedagang lain. Bahkan para ibu-ibu pedagang Papua Indonesia pun sudah punya persekongkolan seperti ini.

Akibatnya, orang-orang Papua Nugini justru hancur-hancuran dalam bisnis ini. Semua rugi. Seorang pedagang dari Kuem bernama Samson membawa 107 ekor ikan, dan tidak seekor pun yang laku. Sedangkan seorang pedagang dari Mipan membawa 21 ekor ikan, laku semua dan mendapat Rp 210.000, tetapi itu tidak menutup biaya bensinnya yang sebanyak 25 liter (Rp 300.000).

Saya semula tidak habis pikir, kenapa mereka membawa semua anggota keluarga termasuk anak-anak ke sini, sehingga mereka butuh banyak perahu dan banyak bensin, satu kali perjalanan pergi pulang perlu 30 galon. Satu desa sebenarnya cukup diwakili sedikit orang dan hanya dengan dua perahu yang mengangkut semua ikan. Tetapi mereka tidak lakukan itu, karena mereka tidak saling percaya satu sama lain.

Pihak Indonesia sudah menetapkan hari Sabtu adalah hari berdagangnya suku Mandobo dari Kuem, sedangkan hari Rabu adalah orang-orang suku Buazi (Marind) dari Manda dan Mipan. Tapi orang Papua Nugini tidak pernah menghormati aturan main ini. Hari ini sebenarnya hari dagang orang Kuem, tetapi orang Buazi juga datang, bahkan datang lebih pagi daripada orang Kuem. Akibatnya, semua ikan dari Kuem tidak laku dan harus dibuang ke rawa (yang berbau sangat busuk oleh ikan busuk). Itu membangkitkan kemarahan. Dua lelaki dari desa berbeda berteriak-teriak, saling mengancam untuk membunuh dan hampir memuncak menjadi adu jotos. Itu menjadi pertunjukan Papua Nugini yang sangat memalukan di hadapan orang-orang Indonesia di sini.

Samson tertunduk kuyu dan matanya merah. Ratusan ikan yang dia bawa menggunung di jalan dikerubung lalat, mulai menghitam. Begitu sayang, begitu iba. Bahkan para pedagang kecil Indonesia pun geleng-geleng kepala. “Seharusnya ini bisa dibikin ikan asin,” kata mereka, “tapi mereka di seberang sana bahkan garam pun tak punya.”

Bapak tua Elisa yang membawa saya ke sini dengan perahunya juga rugi besar. Dia bawa ratusan ekor, yang laku hanya belasan. Sementara satu penumpang dari perahu kami memutuskan untuk pergi ke pasar di Asiki (walaupun itu ilegal) demi menjual ikan-ikan yang tersisa sebelum busuk. Kami duduk di gubuk, menunggu.

Begitu banyak ikan harus dibuang

Sore hari pasar pun bubar. Memasuki petang, bahkan perahu terakhir dari Papua Nugini pun sudah meninggalkan rawa untuk kembali ke negara asal. Sementara kami masih menunggu teman-teman kami kembali dari Asiki. Kami tidak bisa mengontak mereka karena tidak ada sinyal.

Malam semakin larut. Perjalanan melintasi rawa yang penuh pepohonan sangat berbahaya, apalagi di malam gelap. Kawan kami yang naas itu tidak pulang juga.

Pukul sepuluh malam barulah perahu kami bergerak meninggalkan Indonesia. Lewat tengah malam perahu masih melaju melintas sungai dan rawa. Sangat kontras dengan keberangkatan tadi pagi yang penuh keceriaan, kini semua penumpang membisu. Hujan mengguyur dan angin dingin menampar-nampar wajah kami. Saya meringkuk, membenamkan kepala, gemetaran dan menangis.

Sumber: AgustinusWibowo.com

Leave a Reply