Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta untuk bersikap tegas terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing berkedok lingkungan yang menghalangi investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.
“Persoalan LSM itu harus ada ketegasan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). Bagi LSM yang terindikasi mengganggu investasi harus ada teguran dan sanksi,” kata pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.
Dia mengomentari hal itu terkait dengan LSM Greenpeace yang melakukan intervensi pengelolaan hutan di Papua.
Menurut dia, pemerintah pusat bersama pemda harus memiliki pandangan yang sama terkait soal investasi, artinya apapun yang dinilai menghambat investasi harus bisa diselesaikan antara pemerintah pusat dengan pemda.
“Papua ini banyak potensi yang bisa menarik investasi. Apalagi sekarang sudah ada jalan TransPapua,” katanya melalui keterangan tertulis.
Jadi, lanjut Bhima, hambatan investasi yang disebabkan keberadaan LSM tersebut harus bisa diselesaikan pemda kalau ingin investasi masuk ke Papua.
“Jadi hambatan-hambatan itu disisir dan pemda jadi panglimanya. Kalau pemerintah pusat tugasnya hanya marketing sebab kalau nanti ada investor datang, dealnya dengan pemda,” katanya.
Sementara itu Guru besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa menegaskan bahwa LSM tidak boleh melakukan intervensi apapun terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di antaranya di Papua.
“Tidak ada kewajiban pemerintah maupun pengusaha mendengarkan Greenpeace. Karena sebetulnya acuannya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi,” ujar Yanto Santosa.
Menurut dia, karena acuannya adalah RTRW Provinsi, maka hutan produksi bisa dialihfungsikan menjadi fungsi lain di luar fungsi kehutanan, namun harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur oleh undang-undang.
Namun demikian, perlakukan pembangunan kehutanan di Papua berbeda dengan yang ada di luar Papua, karena di Papua, masyarakatnya menganggap tanah dan hutan itu milik adat.
“Dulu pun ketika pemerintah memberikan HPH (hak pengelolaan hutan) harus ada urusan dengan adat. Walaupun negara sudah memberikan SK (Surat Keputusan) HPH atau hutan untuk produksi, tetap saja harus berurusan dengan adat,” katanya.
Jadi, kata Yanto Santosa, LSM tidak memiliki hak sama sekali terhadap pengelolaan hutan di Papua. Semua itu harus dikembalikan ke RTRW, kalau dalam petanya itu masuk hutan produksi maka bisa dibuat HPH (Hak Pengelolaan Hutan), dibuat HTI (Hutan Tanaman Industri) atau bisa dibuat apapun juga selama mengikuti syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut dia, jika LSM tersebut menghalangi upaya investor menanamkan modalnya di Papua, pemerintah tinggal memproses hukum.
“Kalau ada pihak-pihak yang melarang, mengalangi, menghambat investasi, ya tinggal diproses hukum. Investasi ini kan membangun negara. Kita kan negara hukum. Apalagi sekarang ini kan pemerintahan Jokowi sedang giat-giatnya menggenjot investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo berpendapat bahwa pemerintah harus bersikap tegas terhadap LSM Greenpeace yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua.
“Dari dulu sudah saya katakan, pemerintah harus tegas karena itu sudah menginjak-injak kedaulatan negara kita. Hanya pemerintah yang boleh mengatur negara ini,” katanya.
Sebagaimana dalam UU Kehutanan, kata Firman, hutan bisa dijadikan fungsi ekologis, sosial, maupun ekonomi, ketiga fungsi tersebut harus berjalan seimbang.
“Apalagi kalau dilihat, ekonomi di Papua masih terbelakang. Karena itu tak ada salahnya apabila hutan di Papua dialihfungsikan pada kegiatan yang sifatnya terkait dengan ekonomi. Nah agar perekonomian berjalan kan harus ada investasi,” kata politisi Partai Golkar itu.
Sebelumnya Masyarakat Adat Airu Hulu, Kabupaten Jayapura, Papua menolak kehadiran LSM Greenpeace yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua.
“Kami menolak Greenpeace dalam pengelolaan hutan masyarakat adat,” tegas Kepala Suku Wau, Mathius Wau dalam aksi bersama pekan lalu.
Mathius mengatakan penolakan kehadiran Greenpeace karena organisasi tersebut dinilai selalu menghalangi kehadiran investasi di Papua.