ilustrasi kebun sawit
JAKARTA – Perkembangan industri kelapa sawit yang berhasil menjadi komoditi penghasil devisa terbesar di Indonesia, saat ini tengah menarik perhatian masyarakat global. Pasalnya, sawit Indonesia berhasil menggeser dominasi kedelai sebagai bahan baku minyak nabati utama di dunia dalam beberapa tahun terakhir.
Hal tersebut dinilai tak mengherankan, karena hasil produksi kelapa sawit cenderung lebih tinggi dan dengan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kedelai.
Berdasarkan data fas.USDA.gov, pada tahun 2017 total luas lahan tanaman minyak nabati di dunia adalah 276,6 juta hektar, yang 45 persennya didominasi oleh kedelai, sementara kelapa sawit hanya delapan persen. Dan dari luas lahan tersebut, di tahun yang sama produksi minyak kelapa sawit mencapai 69,8 juta ton (34 persen), diikuti minyak kedelai sebesar 56,2 juta ton (27 persen).
Pencapaian sawit yang mengkilap tersebut, tentunya, menjadi anugerah bagi Indonesia, karena sawit bisa tumbuh subur di iklim tropis.
Meskipun demikian, Indonesia saat ini tengah diterpa badai isu dari sejumlah negara/regional target ekspor sawit Indonesia, yakni Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat. Deforestasi, masalah kesehatan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penggunaan buruh anak menjadi kedok yang dipakai untuk menghambat laju pertumbuhan produk sawit Indonesia di kedua pasar tersebut.
UE, lewat kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II, memasukkan kelapa sawit Indonesia dalam kategori risiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC) akibat deforestasi. Hal ini secara tidak langsung telah terbantahkan, lantaran lahan sawit di dunia sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan lahan kedelai.
Sementara, di pasar Amerika Serikat (AS), deforestasi dan penggunaan buruh anak jadi dua isu utama yang menjadi topeng untuk menyudutkan industri sawit Indonesia.
Dewan Pembina Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Bayu Krisnamurthi menilai bahwa segala tudingan tersebut sebenarnya merupakan tantangan tersendiri bagi industri sawit Indonsia. Jika diperhatikan, tantangan-tantangan itu memang muncul setelah sawit menjadi minyak nabati nomor satu di dunia, yang paling banyak dikonsumsi dan diperdagangkan di dunia.
“Sangat patut diduga adanya motif persaingan dagang dalam berbagai tuduhan, karena yang paling keras menuduh sawit buruk adalah negara-negara yang produk minyak nabatinya paling kalah bersaing dengan sawit,” kata Bayu saat dihubungi ANTARA, baru-baru ini.
Tidak hanya di ranah pemerintah, lanjut Bayu, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing pun turut ambil bagian dalam menggiring opini publik untuk melawan industri sawit Indonesia. Bayu mengaku sangat menyesalkan adanya serangan kampanye hitam tersebut. Dia mengkhawatirkan, hal tersebut bisa berdampak buruk bagi perekonomian negara, serta kesejahteraan masyarakat yang sudah lama menggantungkan hidup pada industri sawit.
“Banyak LSM asing sering hanya menggunakan data terbatas, tapi mengeneralisasi. Sering hanya lihat dari satu sisi, tapi tidak sisi lain. Sering hanya menjelek-jelekkan, tapi tidak mau lihat baiknya sawit. Dan sering hanya mengejar sawit, tapi tidak mau melihat masalah di minyak nabati lain,” tutur dia.
Salah satu pelaku industri kelapa sawit nasional, Korindo Group, menegaskan bahwa kehadiran pihaknya di sejumlah kawasan terpencil, terluar dan terisolir (3T) memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perkebunan Korindo.
“Terbangunnya infrastruktur-infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan lainnya adalah beberapa bukti kongkrit dari dampak positif atas hadirnya Korindo di daerah-daerah tersebut,” kata Manager Humas Korindo Group, Yulian Mohammad Riza.
Oleh karena itu, sangat tidak mungkin apabila kehadiran industri sawit disebut telah merugikan masyarakat. Justru sebaliknya, dampak positif seperti menurunnya angka pengangguran, meningkatnya angka produk domestik bruto daerah, hingga meningkatnya kualitas pendidikan dan kesehatanlah yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar areal kebun sawit.
“Kampanye hitam dari para LSM asing tidak hanya telah membuat resah iklim investasi di industri sawit nasional, namun juga telah merugikan masyarakat luas,” ujarnya.
Pemilik hak ulayat di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua, Yustinus Gambenop juga menyesalkan keadaan tersebut. Sebab kehadiran Korindo di wilayahnya diibaratkan bagai ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Sebelum Korindo beroperasi di wilayah yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini ini, wilayah Boven Digoel sangat tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur fisik dan ekonomi.
”Yang paling terasa adalah dibukanya begitu banyak lapangan kerja dan pembangunan begitu banyak sarana umum seperti klinik, sekolah, tempat ibadah, dan sebagainya. Jadi sejauh ini, kami tidak ada masalah dengan perusahaan,” tukas Yustinus.