Masyarakat adat tidak dapat menerima perlakuan sejumlah NGO di Merauke dan Boven Digoel. Kampanye negatif NGO menghambat perusahaan untuk membuka lahan plasma. Lantaran dituduh melakukan kegiatan deforestasi.
Pertemuan sejumlah perwakilan masyarakat adat Merauke dan Boven Digoel membuka tabir perilaku NGO internasional seperti Mighty Earth dan AidEnvironment di Papua. Kampanye negatif kedua NGO ini menyebabkan pembangunan plasma untuk masyarakat tidak terealisasi
“Jangan manfaatkan orang Papua untuk kepentingan negara lain. Kami tidak merasa diwakili kepentingan (LSM). Keinginan masyarakat lahan plasma bisa dibuka dan berkegiatan,” kata Richard Nosai Koula, perwakilan masyarakat hak ulayat di Merauke, dalam pertemuan stakeholder meeting di Jakarta, pada akhir Juli 2017.
Dalam pertemuan pemangku kepentingan yang diadakan di Jakarta tersebut hadir perwakilan masyarakat adat, Bupati Merauke Frederikus Gebze, Bupati Boven Digoel Benediktus Tombonop, Anggota Komisi IV DPR Hamdani, dan Prof.Nyoto Santoso (IPB). Dijadwalkan pula akan hadir Mighty Earth dan AidEnvironment tetapi sampai acara selesai tidak ada perwakilan kedua LSM ini yang datang.
Richard Nousa bersama 7 perwakilan masyarakat adat dari Merauke dan 2 orang perwakilan masyarakat adat Boven Digoel datang ke Jakarta untuk berdiskusi dengan Mighty Earth dan AidEnvironment. Sebagai informasi, Mighty Earth adalah NGO asal Amerika Serikat yang fokus kepada kegiatan kampanye dan juga bagian kampanye Waxman Strategies. Sedangkan, AideEnvironment merupakan NGO dari Belanda.
Kedatangan perwakilan masyarakat adat merespon keluhan masyarakat terkait kampanye negatif kedua NGO tadi yang membuat perusahaan sawit di Merauke dan Boven Digoel belum juga membuka kebun plasma untuk masyarakat.
Imanuel Gebze, warga yang berada dalam konsesi PT Dongin Prabawa, Merauke menyebutkan koperasi telah dibuka semenjak 2016. Hingga sekarang belum dibuka juga kebun plasma. “Kami tolong minta dibuka,” paparnya.
Pastor Felix Amias, Anggota Missionarium Saccratissmi Cordis, menegaskan kampanye NGO seharusnya tidak dapat dijadikan instrumen penentu keputusan. Apabila masyarakat sudah sepakat menjalin kemitraan dengan perusahaan, di sisi lain perusahaan telah mengikuti aturan pemerintah daerah dan pusat. Maka, tidak ada salahnya kalau perkebunan sawit di buka di kedua daerah tadi.
“Saya telah keliling ke delapan distrik dan bertanya langsung ke masyarakat. Jawaban mereka semua setuju dengan pembukaan plasma masyarakat,”ujar Pastor Felix yang juga tokoh masyarakat Boven Digoel.
Sebelumnya, masyarakat pemilik ulayat telah melayangkan surat ditujukan kepada Mighty Earth dan AideEnvironment pada pertengahan Juli 2017. Dalam suratnya, perwakilan masyarakat mendesak kedua NGO ini menghentikan campur tangan atas hak ulayat masyarakat sebab yang merasakan dampak kampanye adalah masyarakat sendiri bukan pihak luar.
“Tolong jangan halangi kami untuk maju dengan berbagai alasan lingkungan,”ujar Demianus Blamen, Tuan Dusun Nakias dalam surat tersebut.
Sumber : https://sawitindonesia.com