Raja Ampat – Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan jumlah pengidap AIDS dan malaria di Papua mengalami penurunan. Namun pelayanan kesehatan di Papua tetap punya kendala tersendiri.
“Turun, karena kita obati dengan antiretroviral. Jadi kita ngotot pemeriksaan untuk HIV. Begitu HIV ada, kita kasih obat, dan kalau dia minum obat, maka dia terhindar dari AIDS-nya,” kata Nila di Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (21/12/2017).
Meski demikian, Nila belum bisa memaparkan data pastinya. Kata dia, jumlah pengidap AIDS di Provinsi Papua dan Papua Barat turun, tapi angka pengidap HIV-nya naik. Ini karena semakin banyak pengidap HIV yang terungkap lewat penemuan di masyarakat.
“Dulunya banyak yang tidak mau periksa, karena stigma takutnya. Tapi melihat temannya jadi sehat kemudian akhirnya jadi mau. Saya minta ODHA (orang dengan HIV/AIDS) itu tolong ajak teman yang lain untuk periksa. Karena dikasih obat gratis lho dari pemerintah,” kata Nila.
Penyakit endemik di Papua adalah malaria. Kata Nila, angka penderita malaria juga turun. Upaya yang dilakukan adalah mengajak masyarakat memakai kelambu supaya nyamuk malaria tidak menggigit warga yang sedang tidur.
“TBC, malaria masih banyak. Tapi malaria turun. Kemarin di Biak saya ketemu dengan sekretaris Dinkes. Turun. Mereka memakai kelambu mau. Kita kan kasih kelambu,” kata dia.
Kendalanya, terkadang warga masih banyak yang tak mau memakai kelambu. “Kita kasih kelambu, tapi ya begitulah, ada yang mau pakai dan ada yang tidak. Kadang-kadang buat nangkap ikan,” ujarnya.
Pihak Kementerian Kesehatan juga menerjunkan tenaga kesehatan yang mendatangi warga. Mereka mengecek rumah keluarga yang punya anggota pengidap TBC. Rumah mereka dicek. Bila ada anggota keluarga lain yang ternyata juga mengidap TBC, akan diobati dan diawasi.
Secara umum, kendala pelayanan kesehatan di Pulau Cenderawasih cukup banyak. Antara lain topografi Papua yang beragam, termasuk pegunungan dan hutan yang sulit diakses.
“Banyak yang tinggal di hutan-hutan. Kita ke sana ularnya berseliweran,” ucapnya. Mau tak mau, petugas medis harus berjalan kaki untuk mengakses daerah terpencil.
“Ada terobosan dari Kepala Dinas Kesehatan Papua. Namanya ‘tenaga kesehatan kaki telanjang’. Itu mereka (tenaga kesehatan) mendatangi (warga). Itu yang memang kita harapkan. Kalau ini berjalan, bagus,” ujarnya.
Ada pula kendala soal sebaran tenaga kesehatan yang belum merata. Kawasan di Papua yang butuh tenaga medis bisa meminta penugasan tenaga medis untuk bekerja di wilayahnya, termasuk wilayah terpencil.
“Itu yang harus kami atasi betul. Yang kami atasi justru dokter spesialis dengan mengirim satu tahun kita rotasi,” kata dia.
“Ada masalah. Itu yang harus kami atasi betul. Yang kami atasi justru dokter spesialis dengan mengirim satu tahun kita rotasi. Misalnya saya lulus kebidanan, maka saya harus pergi ke kabupaten yang meminta. Bukan semua dikirim. Misalnya Kabupaten Nabire meminta, ‘Saya perlu dokter kebidanan.’ Maka kita kasih.”
Ada pula program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan. “Itu adalah tim dari dokter sampai laboratorium. Yang sedikit itu dokternya,” ujarnya.
Ada pula kendala budaya yang perlu ditangani secara hati-hati, soalnya ini menyangkut masalah sensitif. Edukasi diharapkannya bisa meningkatkan pemahaman masyarakat Papua tentang kesehatan, termasuk soal penyikapan terhadap kehamilan perempuan. Dengan pemahaman yang baik, angka kematian ibu hamil bisa ditekan.
(dnu/nvl)